BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan
salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek
rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui studi
tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan
diri serta mengamalkan secara benar. Secara faktual, tasawuf
mempunyai kaitan yang erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh
para Sahabat di bawah bimbingan Nabi saw. Tasawuf mengajarkan cara
untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan
rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi.
Tasawuf sebagai sebuah perlawanan terhadap
budaya materialisme belum ada, bahkan
tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Sahabat dan para Tabi’in pada hakikatnya
sudah sufi. Sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi
juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah SWT sebagai sang Khaliq ketika
kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan,
mulailah orang-orang lalai pada sisi rohani. Budaya hedonisme pun menjadi
fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar pertengahan abad 2
Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal-usul perkembangan sufistik?
2. Bagaimana variasi praktik tasawuf dan
pengkajiannya?
3. Apa saja pendekatan utama dalam kajian
tasawuf?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui asal-usul perkembangan sufistik
2. Untuk
mengetahui variasi praktik tasawuf dan pengkajiannya
3. Untuk
mengetahui pendekatan utama dalam kajian tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
1. Asal-usul
Perkembangan Sufistik
Asal-usul tasawuf dalam dunia islam sudah berlangsung sejak lama, dan banyak
pendapat yang bermunculan. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dalam dunia islam
adalah barang yang baru diimport dari luar islam, ada pula yang mengatakan
bahwa tasawuf adalah semata-mata bersumber dari islam itu sendiri. Pendapat pertama mungkin didasarkan pada fakta sejarah bahwa sebelum agama
islam ada, praktek hidup kerohanian ala tasawuf sudah ada dan berkembang pada
penganut-penganut agama terdahulu, seperti agama Nasrani, Budha, Hindu dan lain
sebagainya. Sedangkan pendapat kedua didasarkan pada kenyataan bahwa dalam
ajaran Islam itu sendiri terdapat unsur-unsur tasawuf.[1]
Tasawuf dalam islam telah ada bersamaan dengan datangnya agama Islam itu
sendiri. Hal ini dapat dilihat dari:[2]
1. Cara hidup Muhammad saw. sendiri sebagai pembawa
ajaran Islam, yang senantiasa mempraktekkan hidup zuhud yang mana zuhud adalah
salah satu ajaran islam/amalan terpenting dalam bertasawuf.
2. Bahwa dalam Al-Qur’an sendiri banyak ayat-ayat yang secara langsung atau
tidak langsung menyuruh manusia bertasawuf. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Surat Faathir ayat 5:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya janji
Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan
kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu
tentang Allah.
b. Surat Al-Baqarah ayat 186 yang berbunyi:$tãy
Artinya: Jika hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang diri-Ku, maka Aku dekat dan Aku mengabulkan seruan yang memanggil jika
Aku dipanggil.
c. Surat Qaf ayat 16 yang berbunyi:
ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym ÏÍuqø9$# ÇÊÏÈ
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
d. Surat Al Anfal ayat 17:
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4
Artinya: Bukanlah kamu, tapi Allah yang
telah membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melontar tetapi Allah yang
melontar.
Ajaran-ajaran
Al-Qur’an ini lah yang diamalkan oleh Rasul sehingga beliau menjadi seorang
Zuhud (zahid), hidup sederhana dengan pakaian yang ditambal-tambal, ucapannya
sedikit, shalat diwaktu malam hari dalam waktu yang panjang dan tidak makan
kecuali yang diperolehnya. Perilaku zuhud Rasul ini ditiru dan dilanjutkan oleh
para sahabat dalam bentuk yang bervariasi. Demikian seterusnya pada masa
tabi’in-tabi’in, hidup zuhud Rasul ini lebih dikembangkan secara lebih
bervariasi, bahkan dimodifikasi dalam bentuk model baru.
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang
dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima
istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al Suffah (ahl al-suffah)
yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi saw dari Mekkah ke Madinah, saf,
yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah, sufi
yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf,
(kain wol kasar).[3]
Dari
segi istilah tasawuf dapat didefinisikan dari tiga sudut pandang. Pertama,
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, dalam hal ini tasawuf
didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia akan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT. Kedua,
sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dalam hal ini
tasawuf didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang
bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketiga,
sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan, dalam hal ini tasawuf
didefinisikan sebagai keadaan fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat
mengarahkan jiwa agar selalu tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat
menghubungkan manusia dengan Tuhan.[4]
Kata
sufi atau sufiah diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawuf
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, sufi berarti orang yang telah
mensucikan hatinya dengan mengingat Allah (zikrullah), menempuh jalan
kembali kepada Allah dan sampai pada pengetahuan hakiki (ma’rifat).
2. Sumber dan
Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Dikalangan para orientalis Barat
biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf
ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi, unsur Yunani unsur Hindu/Budha dan
unsure Persia. Kelima unsur ini secra ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Unsur Islam
Secara
umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan bathiniah. Pada
unsur kehidupan bersifat bathiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur
kehidupan ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an
dan Sunnahs erta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an
berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Allah dapat slaing mencintai (mahabbah)
(QS Al-Maidah [55]:54), perintah agar manusia senantiasa bertaubat, berserah
diri dan memohon ampun (QS Al-Tahrim [66]:8), petunjuk bahwa manusia senantiasa
bertemu dengan Allah dimana pun mereka berada (QS Al-Baqarah[2]:110).
Selanjutnya Al-Qur’an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak
dunia dan harta benda (QS Al-Hadid dan al-Faathir: 5), dan senantiasa bersikap
sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT (QS Ali Imran [3]).[5]
b. Unsur Luar
Islam
Dalam
berbagaai literatur yang ditulis pada orientalis Barat sering dijumpai uraian
yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh unsur agama Masehi,
Yunani, Hindu/Budha dan Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima,
namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para orientalis Barat menyimpulkan
bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena
secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam.
Unsur-unsur
luar islam yang diduga memengaruhi tasawuf Islam itu merupakan sebagai berikut:[6]
1. Pengaruh
Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara.
Dalam literatur Arab yang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang
mengasingkan diri di padang pasir Arabiah. Lampu yang mereka pasang di malam
hari menjadi petunjuk jalan bagi khalifah yang berlalu. Kemah mereka yang
sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan
hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan. Dikatakan
bahwa zahid dan sufi dalam Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana
dan mengasingkan diri merupakan atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen.
2. Falsafah
Mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada
di dunia sebagai orang yang asing. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam
samawi. Untuk memeperoleh hidup senang di alam samawi, manusia harus
membersihkan roh dengan meninggalkan hidup materi atau menempuh hidup zuhud,
untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia
dan pergi berkontemplasi, inilah dipandang sebahagian orang telat turut
mempengaruhi timbulnya zuhud dan tasawuf dalam Islam.
3. Falsafah
Emanasi Plotinus mengatakan bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan Yang Maha
Kuasa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan
masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, sehingga untuk dapat kembali
ketempat asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Cara mensucikan roh
adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, atau
bersatu dengan Tuhan. Dikatakan bahwa falsafah Plotinus ini turut memberikan
pengaruh terhadap berkembangnya pola hidup sufisme (tasawuf) dalam Islam.
4. Ajaran Budha
dengan paham Nirwana-nya. Seperti diajarkan dalam agama Budha bahwa seseorang
yang ingin mencapai nirwana, maka orang tersebut harus meninggalkan dunia.
5.
Ajaran-ajaran Hindu yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan
mendekati Tuhan, untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman. Dalam ajaran
Hindu Budha, diyakini bahwa alam ini hanyalah “maya” (bayangan) dari zat yang
Maha Kuasa tidak punya wujud, karena itu jangan sampai tertipu dengan kehidupan
dunia.
Perkembangan
tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase, yaitu:[7]
Pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yang tumbuh pada abad ke-1 dan ke-2
Hijriyah. Pada fase ini terdapat individu-individu dari kalagan Muslim yang
lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Yaitu mereka tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun
tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan akhirat. Tokoh yang terkenal dari kalangan mereka Hasan al-Basri dan
Rabi’ah al-Adawiyah.
Pada
abad ke-3 Hijriyah, ahli tasawuf mencoba menyelidiki ajaran tasawuf yang
berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya menjadi tiga bagian yaitu:
1. Tasawuf
berisikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf berisi metode yang lengkap tentang
pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada Khaliqnya
sehingga ketegangan jiwa akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik.
2. Tasawuf yang
berintikan ilmu akhlak, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang
cara-cara berbuat baik.
3. Tasawuf yang
berisikan metafisika, yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan
ketunggalan ilahi yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak.
Pada abad ke-4 Hijriyah, ilmu
tasawuf maju lebih pesat jika dibanding dengan abad ketiga. Para ulama
mengemukakan ajaran tasawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad sebagai kota
satu-satunya yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar.
Ulama yang mengembangkan tasawufnya tersebut antara lain:
1.
Musa al-Ansary, mengajarka tasawuf di Khurasan (Iran). Wafat tahun
320 H.
2.
Abu Hamid bin Muhammad al-Rubazy, mengajar disalah satu kota di
Mesir. Wafat tahun 322 H.
3.
Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab al-Saqafy, mengajar
di Naisabur. Wafat tahun 328 H.
Pada abad ke-5 Hijriyah muncullah Imam Gazali yang
sepenuhnya hanya menerima tasawuf berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta
bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
Pengetahuan tasawuf dikajinya dengan mendalam.
Pada abd ke-6 Hijriyah muncul kelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf
mereka dengan filsafat. Mereka itu antara lain al-Suhrawardi al-Maqtul,
Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi dan Umar Ibnu al-Farid.
Pada
abad ke-7 Hijriyah tercatat dalam sejarah, bahwa menurunkan gairah masyarakat
Islam untuk mempelajari tasawuf. Hal ini disebabkan:
1.
Semakin gencarnya serangan ulama syariat memerangi tasawuf
2. Adanya tekad
penguasa (pemerintah) pada masa itu untuk melenyapkan ajaran tasawuf di dunia
Isllam, karena kegiatan ini dianggap sebagai sumber perpecahan umat islam.
Tasawuf
pada masa-masa akhir (kurang lebih dari abad ke-8 Hijriyah sampai saat ini)
mengalami kemunduran. Dengan habisnya
abad ke-7 dan masuknya abad ke-8, tidak didengar lagi perkembangan atau pikiran
yang baru tentang tasawuf. Meskipun banyak pengarang sufi yang menyatakan
pikiran seperti al-Kasani tetapi beliau tidak lagi mengeluarkana pendapat baru.
3. Variasi Praktik Tasawuf dan Pengkajiannya
Para sufi punya cara
yang berbeda dalam mengimplementasikan hidup dan ajaran tasawufnya.
Pengalaman-pengalaman dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadikan praktik
tasawuf itu lebih bervariasi. Karena tujuh dari sufi itu merupakan berada
sedekat mungkin dengan allah sehingga tercapai persatuan, maka cara mencapai
tujuan itu panjang dan berisi maqamat. Maqamat yang biasa disebutkan antara
lain tobat, zuhud, sabar, tawakkal, dan rida. Diatas itu ada lagi al-mahhab
(cinta), al-ma’rifah (pengetahuan), al-fana dan al-baqa (kehancuran dan
kelanjutan dan itihad (persatuan).[8]
Rabi’ah al-adawiyah
merupakan seorang yang banyak mengeluarkan cinta pada allah. Ia mengatakan “aku
mengabdi kepada allah bukan karena takut masuk neraka atau bukan pula ingin
masuk surga, tetapi karena cintaku kepadanya-nya”. Cinta kepada allah begitu
memenuhi jiwanya sehingga didalamnya tidak ada lagi ruangan untuk cinta kepada
yang lain.
Rabi’ah al-adawiyah mengklasifikasikan
cinta ilahi kepada dua jenis. Pertama, rasa cinta yang timbul dari
nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan allah. Kedua, cinta yang tidak
didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong zat yang dicintai yaitu
tersingkapnya tirai sehingga allah nyata baginya.
Paham al-ma’rifah
dipelopori oleh Zu Al-nun al-misri, menurut beliau ma’rifah itu berbeda bagi
setiap orang. Ma’rifah tentang ke-Esa-an allah yang dimiliki orang awam
didasarkan kepada taklid, ma’rifah utama bersumber kepada dalil. Sedangkan
ma’rifah bagi ahli sufi atau wali-wali allah bersumber kepada kasyf dan
musyahadah. Menurut Zu al-nun al-misri, ma’rifah yang benar kepada allah
membawa sinar-nya dalam hati sehingga terang dan jelas, membuat orangh selalu
mendekat kepada allah sehingga menjadi fana dalam keesaannya. Dalam keadaan
yang demikian, maka orang berbicara dalam ilmu yang diberikannya, melihat
dengan penglihatannya, berbuat dengan perbuatannya. Jadi ma’rifah itu ialah
sesuatu yang halus dan terbit dari hati terdalam, diberikan oleh allah sehingga
terbuka hijab dan jelaslah penyelesaiannya.[9]
4. Pendekatan Utama Dalam Kajian tasawuf
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan
dalam kajian tasawuf, yaitu:
a.
Pendekatan
tematik.
Pendekatan
tematik maksudnya, pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai
dengan tema-tema tertentu. Diantaranya uraian tentang fungsi tasawuf,
tingkatan-tingkatan kerohanian dalam tasawuf dan perkembangan tasawuf.
Didalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan
dengan allah dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
Pendekatan
ini dilakukan oleh Sayyed Husein Nasr ketika melakukan penelitian dibidang
tasawuf.[10]
b. Pendekatan studi tokoh.
Pendekatan
studi tokoh dilihat dari segi paham wahdat al-wujud, paham tersebut dinilai
membawa paham reinkarnasi atau paham serba Allah, yakni allah menjelma dalam
berbagai ciptaannya, sehingga dapat mengganggu keberadaan zat Allah. Wahdal
al-wujud yang berarti kesatuan wujud merupakan lanjutan dari paham hulul.
Paham
ahdal al-wujud ini timbul dari paham bahwa allah ingin melihat dirinya, maka
dijadiknnyalah alam. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Dikala ia melihat
dirinya, ia lihat kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena pada
tiap benda-benda itu terdapat sifat Allah.
c. Pendekatan kombinasi.
Pendekatan
kombinasi ialah, pendekatan gabungan antara pendekatan tematik dengan
pendekatan studi tokoh. Dengan pendekatan ini dikemukannya firman Allah, kehidupan nabi,
para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf. Amalan tasawuf, tarikat sufi
serta runtuhnya aliran tasawuf.
Perkembangan Mutakhir Studi Tasawuf
Terdapat banyak
tudingan terhadap tasawuf sebagai penyebab kemunduran Islam pada abad-abad
klasik. Tudingan tersebut beralasan karena tasawuf dianggap menjadikan
pemikiran umat Islam menjadi statis. Rasa bosan dan tidak simpati juga mulai
diperlihatkan oleh masyarakat sekarang ini kepada tasawuf dan kaum sufi. Era
yang membutuhkan dinamika dan kekuatan politik dan ekonomo gagal dijawab oleh
ajaran sufisme seperti yang diperlihatkan oleh mereka yang berkecimpung dalam
dunia tasawuf. Namun meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tasawuf
merupakan salah satu aspek yangs angat unik dalam Islam, tasawuf dengan metode
dan ajaran yang benar bisa menjawab tantangan-tantangan hidup yang tidak bisa
dijelaskan oleh ilmu lainnya. Dengan demikian, meski ada tuduhan dan rasa tidak
simpati terhadap tasawuf, tetap saja ada keinginan kuat untuk ttetap
menghidupkan dan melestarikan tasawuf dalam Islam.
Akibat logis dari dua
fakta yang bertentangan tersebut, muncullah Neo-Sufisme yang menginginkan
ajaran dan kaum sufi lebih dinamis dan tidak terpisah dari masyarakat sosial.
Meski belum begitu popular di kalangan sufi, tampaknya ajaran ini bisa menjawab
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sufisme.
Neo-sufisme merupakan
keinginan untuk menggabungkan ajaran-ajaran sufisme klasik dengan
kebutuhan-kebutuhan sosial. Dengan neo-sufisme, seorang sufi tidak lagi
terpisah dari lingkungan sosial dan tidak meninggalkan tanggung jawabnya
meskipun ajaran sufisme klasik tidak mengajarkan demikian.[11]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Tasawuf
sebagai salah satu bidang studi Islam, sangat penting untuk kelangsungan hidup
manusia, karena tasawuf mengarahkan manusia kepada penyucian diri dari pengaruh
dunia, menghiasi diri dengan akhlak yang baik untuk mendekatkan diri kepada
Allah, yang pada gilirannya dampai kepada pengetahuan ma’rifah. Tasawuf
bersumber dari ajaran islam itu sendiri sekalipun ajaran serupa ada dianut oleh
agama-agama sebelumnya (Kristen, Yunani, Hindu, Budha). Tetapi dalam
perkembangan berikutnya tidak dapat dipungkiri bahwa tasawuf Islam telah
mendapat pengaruh dari unsur-unsur ajaran agama lain.
Pendekatan
kajian utama tasawuf terdiri dari pendekatan tematik
yaitu, pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan
tema-tema tertentu, kemudian pendekatan studi tokoh yaitu paham wahdat
al-wujud, paham tersebut dinilai membawa paham reinkarnasi atau paham serba
Allah, yakni Allah menjelma dalam berbagai ciptaannya, sehingga dapat
mengganggu keberadaan zat Allah, dan yang terakhir pendekatan kombinasi ialah,
pendekatan gabungan antara pendekatan tematik dengan pendekatan studi tokoh.
DAFTAR
PUSTAKA
Miswar, Pangulu Nasution, 2013. “ Akhlak Tasawuf”, Bandung: Citapustaka Media
Perintis.
Faisar Ananda Arfa, dkk, 2015. “Metode Studi Islam”,
Jakarta: Rajawali Pers.
Agus Salim, 2011. “Metode Studi Islam”, Medan: 2011, h. 152.
[3] Agus Salim, 2011. “Metode Studi Islam”, Medan: 2011, h. 152.
[4] Ibid, h.
153.
[5] Faisar Ananda Arfa, dkk, 2015. “Metode
Studi Islam”, Jakarta: Rajawali Pers, h. 120.
[7] Faisar Ananda Arfa, dkk, 2015. “Metode Studi Islam”,
Jakarta: Rajawali Pers, h. 122.
[8] Ibid,
h.125.
[9] Ibid,h.125
[10] Ibid h.127
[11] Ibid,
h. 129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar