BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
A.
ANALISIS SUBJEK
Pengindeksan
subjek menghasilkan deskripsi index (index description) yang merupakan
deskripsi ringkas mengenai isi dokumen. Masalah pertama dalam pengindeksan
subjek adalah menetapkan isi dokumen, yang didasarkan pada analisis subjek (subject
analysis). Semua tahap dalam pengindeksan subjek selanjutnya dipengaruhi
oleh analisis/proses. Oleh karena itu anlisis tersebut harus dikerjakan secara
akurat dan taat asas (konsistensi).
Analisis subjek yang diperlukan dalam
pengindeksan adalah analisis subjek sebagaimana subjek tersebut diungkapkan
dalam dokumen (literary warrant). Misalnya, bidang pengetahuan geografi.
Analisis bidang pengetahuan geografi yang meliputi sifat, struktur, metodologi,
dan hubungannya dengan bidang pengetahuan lainnya seperti ekonomi, geologi,
biologi, dan sejarah, merupakan latar belakang pengetahuan yang diperlukan
dalam pengindeksan.
Seorang
pengindeks harus dapat memperkirakan kebutuhan informasi pengguna perpustakaan.
Oleh karena itu, dalam analisis subjek, pengindeks memilih dan menggunakan
kata-kata untuk subjek tersebut sebagaimana subjek itu dinyatakan dan diminta
oleh para pengguna/pencari informasi dikemudian hari.[1]
Ada dua ciri dalam pengindeksan subjek:
1.
Ketuntasan
Tujuan
pengindeksan tuntas adalah mengeluarkan dalam deskripsi indeks semua konsep
utama yang dicakup dalam suatu dokumen misalnya, buku teks mengenai
“antropologi sosial”, maka dalam kebijaksanaan pengindeksan tuntas, pengindeks
memilih semua konsep utama yang tercakup oleh dokumen/buku tersebut. Konsep-konsep
seperti struktur sosial, kekerabatan, pernikahan, dan sebagainya akan
ditunjukan dalam analisis subjek untuk buku tersebut.[2]
1
|
2.
Kekhususan
Konsep-konsep
yang dikeluarkan dalam analisis subjek memiliki derajat kekhususan (specificity).
Istilah genus/species digunakan dalam pengindeksan untuk mengenali hubungan
yang terdapat diantara benda dengan jenis-jenis benda itu. Misalnya
“Perpustakaan” merupakan genus sedangkan speciesnya adalah perpustakaan umum,
perpustakaan perguruan tinggi. Dengan demikian genus/species hanya menunjukkan
hubungan antara benda dengan jenisnya. Istilah kekhususan digunakan dalam
pengindeksan untuk menyatakan peringkat generik suatu konsep.[3]
Kegiatan
analisis subyek memerlukan kemampuan yang memadai, sebab di sinilah pengindeks
dituntut kemampuannya untuk menentukan subyek yang terdapat dalam bahan pustaka
yang diolah.
Kegiatan analisis subyek ini merupakan kegiatan yang sangat penting
dan memerlukan kemampuan intelektual, karena di sinilah ditentukan pada subyek apa
suatu bahan pustaka ditempatkan atau menetapkan isi bahan pustaka.[4]
Subyek
adalah topik yang merupakan kandungan informasi (content) dalam buku, pita
video, dan bentuk rekaman lainnya yang terdapat pada koleksi perpustakaan.
Sedangkan tajuk subjek adalah kata (-kata) yang digunakan dalam katalog
perpustakaan untuk meringkas kandungan informasi tersebut. Istilah tajuk subyek
dapat juga diartikan sebagai suatu istilah atau kosa kata yang terkendali dan
berstruktur untuk menyatakan suatu konsep subyek bahan pustaka.
Sebagai
kosa kata atau frase, karena tidak selalu terdiri atas satu suku kata,
melainkan dapat berbentuk dua atau lebih suku kata, tetapi bukan suatu kalimat.
Dikatakan terkendali karena diarahkan untuk menggunakan istilah yang tetap
untuk menyatakan konsep yang sama, meskipun banyak istilah padanannya.
Sedangkan berstruktur karena ada kaitan antara tajuk yang satu dengan tajuk
yang lain, sesuai dengan struktur ilmu dan pengetahuan. Tajuk subjek biasanya
dicantumkan pada bagian awal entri katalog yang disusun dalam katalog subyek
berabjad, baik dalam katalog bentuk kartu, bentuk buku, bentuk mikro, maupun
OPAC (Online Public Access Katalog). [5]
2
|
Ada tiga
hal mendasar perlu dikenali pengindeks dalam menganalisis subjek yakni jenis
konsep dan jenis subjek. Berikut penjelasannya :
1. Jenis Konsep
Dalam
satu bahan pustaka dapat dibedakan tiga jenis konsep yaitu:
a.
Disiplin Ilmu, yaitu istilah yang digunakan
untuk satu bidang atau cabang ilm pengetahuan. Disiplin ilmu dapat dibedakan
menjadi 2 kategori:
1.
Disiplin Fundamental. Namun, ada tiga kelompok
disiplin fundamental yang diakui dewasa
ini oleh banyak ahli, yaitu: ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu pengetahuan alam, dan
ilmu-ilmu kemanusiaan.[6]
Menurut guru Profesor Hirst, Guru besar pendidikan pada Universitas Cambridge
di Inggris, ada 7 bentuk pengetahuan (froms of knowledge) yang merupakan
disiplin fundamental, yaitu Matematika, Ilmu-Ilmu alam, Ilmu Kemanusian,
Sejarah, Pengetahuan Moral, Kesenian, Agama dan Filsafat.[7]
2.
Sub disiplin, merupakan bidang spesial dalam
satu disiplin fundamental.
Misalnya
dalam disiplin ilmu fundamental alam, sub disiplinnya terdiri atas
fisika,kimia, biologi, dsb. Jumlah subdisiplin lebih banyak daripada jumlah
disiplin fundamental.
b.
Fenomena (topik yang dibahas), merupakan wujud/benda
yang menjadi objek kajian dari disiplin ilmu. Misalnya pendidikan remaja.
“Pendidikan” merupakan konsep disiplin ilmu, sedangkan “remaja” adalah fenomena
yang menjadi objek atau sasarannya. Objek atau sasaran yang menjadi fenomena
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pertama Objek Konkrit, misalnya :
Remaja , padi, kendaraan; Kedua Objek Abstrak,seperti : hukum, moral,
cinta. Dalam kajian disiplin ilmu tertentu terkadang hanya melibatkan
sekelompok fenomena yang memiliki ciri bersama, atau bahkan sebaliknya,
melibatkan beberapa kelompok fenomena yang memiliki ciri yang sama. Sekelompok
fenomena yang dikaji oleh disiplin ilmu tertentu dan memiliki satu ciri bersama
tersebut disebut faset, anggota faset disebut fokus. Contoh bidang
ilmu pendidikan Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi, sekolah dasar,
sekolah menengah, dsb. Ciri pembagian– lembaga pendidikan=
faset lembaga pendidikan.[8]
3
|
c.
Bentuk, ialah cara bagaimana suatu subyek dIsajikan.
Dibedakan menjadi 3 jenis:
1.
Bentuk Fisik, yakni medium atau sarana yang
digunakan dalam menyajikan suatu subyek. Misalnya dalam bentuk buku, majalah,
pita rekaman, CD dsb.
2.
Bentuk Penyajian, yang menunjukkan pengaturan
atau organisasi isi bahan pustaka. Ada tiga bentuk penyajian, yaitu: (1)
Menggunakan lambang-lambang dalam penyajiannya seperti bahasa, gambar, dll. ;
(2) Memperhatikan tata susunan tertentu misalnya abjad, kronologis, sistematis,
dsb. ; (3) Menyajikannya untuk kelompok tertentu, misalnya bahasa Inggris untuk
pemula, Psikologi untuk ibu rumah tangga.
3.
Bentuk intelektual, yaitu aspek yang ditekankan
dalam pembahasan suatu subyek. Misalnya “Filsafat Sejarah” disini yang menjadi
subyeknya adalah sejarah sedangkan filsafat adalah bentuk intelektual.[9]
2. Jenis Subjek
Dalam kegiatan analisis subyek dokumen terdapat
dalam bermacam-macam jenis subyek. Secara umum digolongkan dalam 4 kelompok,
yaitu:
a.
Subyek Dasar, yaitu subyek yang hanya terdiri
dari satu disiplin ilmu atau sub disiplin ilmu saja. Misalnya: “Pengantar
Ekonomi”, yaitu menjadi subyek dasaranya “Ekonomi”.
b.
Subyek Sederhana, yaitu subyek yang hanya
terdiri dari satu faset yang berasal dari satu subyek dasar (Faset ialah sub
kelompok klas yang terjadi disebabkan oleh satu ciri pembagian. Tiap bidang ilmu mempunyai faset
yang khas sedangkan fokus ialah anggota
dari satu faset). Misalnya “Pengantar ekonomi Pancasila” terdiri dari “subyek
dasar ekonomi” dan faset “Pancasila”.
c.
Subyek Majemuk, yaitu subyek yang teridiri dari
subyek dasar disertai fokus dari dua
atau lebih fasaet. Misalnya:
“Hukum adat di Indonesia”. Subyek dasarnya yaitu “Hukum” dan dua fasetnya
yaitu” Hukum Adat” (faset jenis) dan “Indonesia” (faset tempat).
4
|
d.
Subyek Kompleks, yaitu subyek yang terdiri dari
dua atau lebih subyek dasar dan saling
berinteraksi antara satu sama lain. Misalnya “Pengaruh agama Hindu
terhadap agama Islam”. Disini terdapat dua subyek dasar yaitu “Agama Hindu” dan
Agama Islam”.[10]
Untuk menentukan subyek yang diutamakan dalam
subyek kompleks terdapat 4 (empat) fase,
yaitu: (1) Fase Bias, yaitu suatu subyek yang disajikan untuk kelompok
tertentu. Dalam hal ini subyek yang diutamakan ialah subyek yang disajikan.
Misalnya “Statistik untuk wartawan” subyek yang diutamakan ialah “Statistik”
bukan “wartawan”. ; (2) Fase Pengaruh, yaitu bila dua atau lebih subyek dasar
saling mempengaruhi antara satu sama lain. Dalam hal ini subyek yang diutamakan
adalah subyek yang dipengaruhi. Misalnya “pengaruh Abu Merapi terhadap
Pertanian di D.I Yogyakarta”. Disini subyek yang diutamakan ialah “Pertanian”
bukan “Abu Merapi”. (3) Fase Alat, yaitu subyek yang digunakan sebagai alat
untuk menjelaskan atau membahas subyek lain. Disini subyek yang diutamakan ialah
subyek yang dibahas atau dijelaskan. ; Misalnya: “Penggunaan alat kimia dalam
analisis darah”. Disini yang diutamakan adalah “Darah” bukan “Kimia”. ; (4)
Fase Perbandingan, yaitu dalam satu dokumen/bahan pustaka terdapat berbagai
subyek tanpa ada hubungannya antara satu sama lain. Untuk menentukan subyek
mana yang akan diutamakan, ketentuannya sebagai berikut:
a.
Pada subyek yang dibahas lebih banyak.
Misalnya: “Islam dan Ilmu Pengetahuan”. Jika Islam lebih banyak dibahas,
utamakan subyek “Islam” dan sebaliknya.
b.
Pada subyek yang disebut pertama kali.Misalnya
“Perpustakaan dan Masyarakat” ditetapkan pada subyek “Perpustakaan”
c.
Pada subyek yang erat kaitannya dengan jenis
perpustakaan atau pemakai perpustakaan.
Misalnya
“Hukum dan Kedokteran”. Di Fakultas Hukum akan ditetapkan subyek “Hukum” dan
bila di perpustakaan kedokteran akan ditempatkan dalam subyek “Kedokteran”.[11]
5
|
3. Urutan Sitasi
Agar diperoleh suatu urutan yang baku dan taat
azas/konsistensi dalam penentuan subyek dan (nomor kelas) maka Ranganathan
menggunakan konsep yang dikenal “Urutan Sitasi”. Menurutnya ada 5 (lima) faset
yang mendasar yang dikenal dengan akronim P-M-E-S-T, yakni::
P - Personality (Wujud)
M - Matter (Benda)
E - Energy (Kegiatan)
S - Space (Tempat)
T - Time (Waktu)
Contoh:
“Konstruksi
Jembatan Beton Tahun 20-an di Indonesia”.
Jembatan - Personality (P)
Beton - Matter (M)
Konstruksi - Energy (E)
Indonesia - Space (S)
Tahun 20-an - Time (T)
[1] Beliing
Siregar, 2014. Modul “Pengindeksan Subjek”, Medan: Program Studi Ilmu perpustakaan Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara, h. 31.
[2] Ibid, h.32.
[3] Ibid,
h.33.
[4]
Miswan. Klasifikasi dan Katologisasi : Sebuah
Pengantar. Hlm 4
[6] Darwis
Sembiring, 2014. “Pengolahan Bahan Pustaka”, Bandung: Yrama Widyaa, h.
43.
[7]
Beliing
Siregar, h. 36.
[8]Mufid. Katalogisasi dan Analisis Subjek Bahan Pustaka.
Hlm.12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar