Jumat, 06 Oktober 2017

Tugas Tsaurus ilmu perpustakaan

Analisis Subjek ppt

Makalah Analisis Subjek Klasifikasi

BAB I
PENDAHULUAN


BAB II
ISI

A.    ANALISIS SUBJEK

Pengindeksan subjek menghasilkan deskripsi index (index description) yang merupakan deskripsi ringkas mengenai isi dokumen. Masalah pertama dalam pengindeksan subjek adalah menetapkan isi dokumen, yang didasarkan pada analisis subjek (subject analysis). Semua tahap dalam pengindeksan subjek selanjutnya dipengaruhi oleh analisis/proses. Oleh karena itu anlisis tersebut harus dikerjakan secara akurat dan taat asas (konsistensi).
 Analisis subjek yang diperlukan dalam pengindeksan adalah analisis subjek sebagaimana subjek tersebut diungkapkan dalam dokumen (literary warrant). Misalnya, bidang pengetahuan geografi. Analisis bidang pengetahuan geografi yang meliputi sifat, struktur, metodologi, dan hubungannya dengan bidang pengetahuan lainnya seperti ekonomi, geologi, biologi, dan sejarah, merupakan latar belakang pengetahuan yang diperlukan dalam pengindeksan.
Seorang pengindeks harus dapat memperkirakan kebutuhan informasi pengguna perpustakaan. Oleh karena itu, dalam analisis subjek, pengindeks memilih dan menggunakan kata-kata untuk subjek tersebut sebagaimana subjek itu dinyatakan dan diminta oleh para pengguna/pencari informasi dikemudian hari.[1]
Ada dua ciri dalam pengindeksan subjek:
1.      Ketuntasan
Tujuan pengindeksan tuntas adalah mengeluarkan dalam deskripsi indeks semua konsep utama yang dicakup dalam suatu dokumen misalnya, buku teks mengenai “antropologi sosial”, maka dalam kebijaksanaan pengindeksan tuntas, pengindeks memilih semua konsep utama yang tercakup oleh dokumen/buku tersebut. Konsep-konsep seperti struktur sosial, kekerabatan, pernikahan, dan sebagainya akan ditunjukan dalam analisis subjek untuk buku tersebut.[2]

1
 


2.      Kekhususan
Konsep-konsep yang dikeluarkan dalam analisis subjek memiliki derajat kekhususan (specificity). Istilah genus/species digunakan dalam pengindeksan untuk mengenali hubungan yang terdapat diantara benda dengan jenis-jenis benda itu. Misalnya “Perpustakaan” merupakan genus sedangkan speciesnya adalah perpustakaan umum, perpustakaan perguruan tinggi. Dengan demikian genus/species hanya menunjukkan hubungan antara benda dengan jenisnya. Istilah kekhususan digunakan dalam pengindeksan untuk menyatakan peringkat generik suatu konsep.[3]

Kegiatan analisis subyek memerlukan kemampuan yang memadai, sebab di sinilah pengindeks dituntut kemampuannya untuk menentukan subyek yang terdapat dalam bahan pustaka yang diolah.
Kegiatan analisis subyek ini merupakan kegiatan yang sangat penting dan memerlukan kemampuan intelektual, karena di sinilah ditentukan pada subyek apa suatu bahan pustaka ditempatkan atau menetapkan isi bahan pustaka.[4]
Subyek adalah topik yang merupakan kandungan informasi (content) dalam buku, pita video, dan bentuk rekaman lainnya yang terdapat pada koleksi perpustakaan. Sedangkan tajuk subjek adalah kata (-kata) yang digunakan dalam katalog perpustakaan untuk meringkas kandungan informasi tersebut. Istilah tajuk subyek dapat juga diartikan sebagai suatu istilah atau kosa kata yang terkendali dan berstruktur untuk menyatakan suatu konsep subyek bahan pustaka.
Sebagai kosa kata atau frase, karena tidak selalu terdiri atas satu suku kata, melainkan dapat berbentuk dua atau lebih suku kata, tetapi bukan suatu kalimat. Dikatakan terkendali karena diarahkan untuk menggunakan istilah yang tetap untuk menyatakan konsep yang sama, meskipun banyak istilah padanannya. Sedangkan berstruktur karena ada kaitan antara tajuk yang satu dengan tajuk yang lain, sesuai dengan struktur ilmu dan pengetahuan. Tajuk subjek biasanya dicantumkan pada bagian awal entri katalog yang disusun dalam katalog subyek berabjad, baik dalam katalog bentuk kartu, bentuk buku, bentuk mikro, maupun OPAC (Online Public Access Katalog). [5]
           
2
 


Ada tiga hal mendasar perlu dikenali pengindeks dalam menganalisis subjek yakni jenis konsep dan jenis subjek. Berikut penjelasannya :
1.      Jenis Konsep
Dalam satu bahan pustaka dapat dibedakan tiga jenis konsep yaitu:
a.       Disiplin Ilmu, yaitu istilah yang digunakan untuk satu bidang atau cabang ilm pengetahuan. Disiplin ilmu dapat dibedakan menjadi 2 kategori:
1.      Disiplin Fundamental. Namun, ada tiga kelompok disiplin fundamental  yang diakui dewasa ini oleh banyak ahli, yaitu: ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu pengetahuan alam, dan ilmu-ilmu kemanusiaan.[6] Menurut guru Profesor Hirst, Guru besar pendidikan pada Universitas Cambridge di Inggris, ada 7 bentuk pengetahuan (froms of knowledge) yang merupakan disiplin fundamental, yaitu Matematika, Ilmu-Ilmu alam, Ilmu Kemanusian, Sejarah, Pengetahuan Moral, Kesenian, Agama dan Filsafat.[7]
2.      Sub disiplin, merupakan bidang spesial dalam satu disiplin fundamental.
Misalnya dalam disiplin ilmu fundamental alam, sub disiplinnya terdiri atas fisika,kimia, biologi, dsb. Jumlah subdisiplin lebih banyak daripada jumlah disiplin fundamental.
b.      Fenomena (topik yang dibahas), merupakan wujud/benda yang menjadi objek kajian dari disiplin ilmu. Misalnya pendidikan remaja. “Pendidikan” merupakan konsep disiplin ilmu, sedangkan “remaja” adalah fenomena yang menjadi objek atau sasarannya. Objek atau sasaran yang menjadi fenomena dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pertama Objek Konkrit, misalnya : Remaja , padi, kendaraan; Kedua Objek Abstrak,seperti : hukum, moral, cinta. Dalam kajian disiplin ilmu tertentu terkadang hanya melibatkan sekelompok fenomena yang memiliki ciri bersama, atau bahkan sebaliknya, melibatkan beberapa kelompok fenomena yang memiliki ciri yang sama. Sekelompok fenomena yang dikaji oleh disiplin ilmu tertentu dan memiliki satu ciri bersama tersebut disebut faset, anggota faset disebut fokus. Contoh bidang ilmu pendidikan Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi, sekolah dasar, sekolah menengah, dsb. Ciri pembagian– lembaga pendidikan= faset lembaga pendidikan.[8]
3
 



c.       Bentuk, ialah cara bagaimana suatu subyek dIsajikan. Dibedakan menjadi 3 jenis:
1.      Bentuk Fisik, yakni medium atau sarana yang digunakan dalam menyajikan suatu subyek. Misalnya dalam bentuk buku, majalah, pita rekaman, CD dsb.
2.      Bentuk Penyajian, yang menunjukkan pengaturan atau organisasi isi bahan pustaka. Ada tiga bentuk penyajian, yaitu: (1) Menggunakan lambang-lambang dalam penyajiannya seperti bahasa, gambar, dll. ; (2) Memperhatikan tata susunan tertentu misalnya abjad, kronologis, sistematis, dsb. ; (3) Menyajikannya untuk kelompok tertentu, misalnya bahasa Inggris untuk pemula, Psikologi untuk ibu rumah tangga.
3.      Bentuk intelektual, yaitu aspek yang ditekankan dalam pembahasan suatu subyek. Misalnya “Filsafat Sejarah” disini yang menjadi subyeknya adalah sejarah sedangkan filsafat adalah bentuk intelektual.[9]
2.      Jenis Subjek
Dalam kegiatan analisis subyek dokumen terdapat dalam bermacam-macam jenis subyek. Secara umum digolongkan dalam 4 kelompok, yaitu:
a.       Subyek Dasar, yaitu subyek yang hanya terdiri dari satu disiplin ilmu atau sub disiplin ilmu saja. Misalnya: “Pengantar Ekonomi”, yaitu menjadi subyek dasaranya “Ekonomi”.
b.      Subyek Sederhana, yaitu subyek yang hanya terdiri dari satu faset yang berasal dari satu subyek dasar (Faset ialah sub kelompok klas yang terjadi disebabkan oleh satu ciri  pembagian. Tiap bidang ilmu mempunyai faset yang khas sedangkan fokus ialah  anggota dari satu faset). Misalnya “Pengantar ekonomi Pancasila” terdiri dari “subyek dasar ekonomi” dan faset “Pancasila”.
c.       Subyek Majemuk, yaitu subyek yang teridiri dari subyek dasar disertai fokus dari dua  atau lebih fasaet.  Misalnya: “Hukum adat di Indonesia”. Subyek dasarnya yaitu “Hukum” dan dua fasetnya yaitu” Hukum Adat” (faset jenis) dan “Indonesia” (faset tempat).


4
 


d.      Subyek Kompleks, yaitu subyek yang terdiri dari dua atau lebih subyek dasar dan saling  berinteraksi antara satu sama lain. Misalnya “Pengaruh agama Hindu terhadap agama Islam”. Disini terdapat dua subyek dasar yaitu “Agama Hindu” dan Agama Islam”.[10]
Untuk menentukan subyek yang diutamakan dalam subyek kompleks terdapat 4 (empat)  fase, yaitu: (1) Fase Bias, yaitu suatu subyek yang disajikan untuk kelompok tertentu. Dalam hal ini subyek yang diutamakan ialah subyek yang disajikan. Misalnya “Statistik untuk wartawan” subyek yang diutamakan ialah “Statistik” bukan “wartawan”. ; (2) Fase Pengaruh, yaitu bila dua atau lebih subyek dasar saling mempengaruhi antara satu sama lain. Dalam hal ini subyek yang diutamakan adalah subyek yang dipengaruhi. Misalnya “pengaruh Abu Merapi terhadap Pertanian di D.I Yogyakarta”. Disini subyek yang diutamakan ialah “Pertanian” bukan “Abu Merapi”. (3) Fase Alat, yaitu subyek yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan atau membahas subyek lain. Disini subyek yang diutamakan ialah subyek yang dibahas atau dijelaskan. ; Misalnya: “Penggunaan alat kimia dalam analisis darah”. Disini yang diutamakan adalah “Darah” bukan “Kimia”. ; (4) Fase Perbandingan, yaitu dalam satu dokumen/bahan pustaka terdapat berbagai subyek tanpa ada hubungannya antara satu sama lain. Untuk menentukan subyek mana yang akan diutamakan, ketentuannya sebagai berikut:
a.       Pada subyek yang dibahas lebih banyak. Misalnya: “Islam dan Ilmu Pengetahuan”. Jika Islam lebih banyak dibahas, utamakan subyek “Islam” dan sebaliknya.
b.      Pada subyek yang disebut pertama kali.Misalnya “Perpustakaan dan Masyarakat” ditetapkan pada subyek “Perpustakaan”
c.       Pada subyek yang erat kaitannya dengan jenis perpustakaan atau pemakai perpustakaan.
Misalnya “Hukum dan Kedokteran”. Di Fakultas Hukum akan ditetapkan subyek “Hukum” dan bila di perpustakaan kedokteran akan ditempatkan dalam subyek “Kedokteran”.[11]




5
 


3.      Urutan Sitasi
Agar diperoleh suatu urutan yang baku dan taat azas/konsistensi dalam penentuan subyek dan (nomor kelas) maka Ranganathan menggunakan konsep yang dikenal “Urutan Sitasi”. Menurutnya ada 5 (lima) faset yang mendasar yang dikenal dengan akronim P-M-E-S-T, yakni::
P - Personality (Wujud)
M - Matter (Benda)
E - Energy (Kegiatan)
S - Space (Tempat)
T - Time (Waktu)
Contoh:
“Konstruksi Jembatan Beton Tahun 20-an di Indonesia”.
Jembatan - Personality (P)
Beton - Matter (M)
Konstruksi - Energy (E)
Indonesia - Space (S)
Tahun 20-an - Time (T)



[1] Beliing Siregar, 2014. Modul “Pengindeksan Subjek”, Medan:  Program Studi Ilmu perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, h. 31.
[2]  Ibid, h.32.
[3] Ibid, h.33.
[4] Miswan.  Klasifikasi dan Katologisasi : Sebuah Pengantar. Hlm 4
[5]Hetti Gultom,  Analisis Subjek  Bahan Pustaka. Universitas Sumatera Utara. Hlm 3
[6] Darwis Sembiring, 2014. “Pengolahan Bahan Pustaka”, Bandung: Yrama Widyaa, h. 43.
[7] Beliing Siregar,  h. 36.
[8]Mufid.  Katalogisasi dan Analisis Subjek Bahan Pustaka.  Hlm.12
[9]Hetti Gultum, ibid. hlm. 3-4
[10] Hetti Gultum, ibid. hlm. 3-5
[11] Hetti Gultum, ibid. hlm. 5

Rabu, 04 Oktober 2017

Asal Usul Sufistik

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Secara faktual, tasawuf mempunyai kaitan yang erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh para Sahabat di bawah bimbingan Nabi saw. Tasawuf mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi.
Tasawuf sebagai sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Sahabat dan para Tabi’in pada hakikatnya sudah sufi. Sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah SWT sebagai sang Khaliq ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi rohani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar pertengahan abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal-usul perkembangan sufistik?
2. Bagaimana variasi praktik tasawuf dan pengkajiannya?
3. Apa saja pendekatan utama dalam kajian tasawuf?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui asal-usul perkembangan sufistik
2. Untuk mengetahui variasi praktik tasawuf dan pengkajiannya
3. Untuk mengetahui pendekatan utama dalam kajian tasawuf







BAB II
PEMBAHASAN
1. Asal-usul Perkembangan Sufistik
Asal-usul tasawuf dalam dunia islam sudah berlangsung sejak lama, dan banyak pendapat yang bermunculan. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dalam dunia islam adalah barang yang baru diimport dari luar islam, ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf adalah semata-mata bersumber dari islam itu sendiri. Pendapat pertama mungkin didasarkan pada fakta sejarah bahwa sebelum agama islam ada, praktek hidup kerohanian ala tasawuf sudah ada dan berkembang pada penganut-penganut agama terdahulu, seperti agama Nasrani, Budha, Hindu dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat kedua didasarkan pada kenyataan bahwa dalam ajaran Islam itu sendiri terdapat unsur-unsur tasawuf.[1]
            Tasawuf dalam islam telah ada bersamaan dengan datangnya agama Islam itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari:[2]
1. Cara hidup Muhammad saw. sendiri sebagai pembawa ajaran Islam, yang senantiasa mempraktekkan hidup zuhud yang mana zuhud adalah salah satu ajaran islam/amalan terpenting dalam bertasawuf.
2. Bahwa dalam Al-Qur’an sendiri banyak ayat-ayat yang secara langsung atau tidak langsung menyuruh manusia bertasawuf. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Surat Faathir ayat 5:

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.
b. Surat Al-Baqarah ayat 186 yang berbunyi:$tãyŠ
Artinya: Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka Aku dekat dan Aku mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil.
c. Surat Qaf ayat 16 yang berbunyi:
ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym σÍuqø9$# ÇÊÏÈ  
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
d. Surat Al Anfal ayat 17:
öNn=sù öNèdqè=çFø)s?  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4
Artinya: Bukanlah kamu, tapi Allah yang telah membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melontar tetapi Allah yang melontar.
            Ajaran-ajaran Al-Qur’an ini lah yang diamalkan oleh Rasul sehingga beliau menjadi seorang Zuhud (zahid), hidup sederhana dengan pakaian yang ditambal-tambal, ucapannya sedikit, shalat diwaktu malam hari dalam waktu yang panjang dan tidak makan kecuali yang diperolehnya. Perilaku zuhud Rasul ini ditiru dan dilanjutkan oleh para sahabat dalam bentuk yang bervariasi. Demikian seterusnya pada masa tabi’in-tabi’in, hidup zuhud Rasul ini lebih dikembangkan secara lebih bervariasi, bahkan dimodifikasi dalam bentuk model baru.
            Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al Suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi saw dari Mekkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf, (kain wol kasar).[3]
Dari segi istilah tasawuf dapat didefinisikan dari tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, dalam hal ini tasawuf didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia akan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dalam hal ini tasawuf didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan, dalam hal ini tasawuf didefinisikan sebagai keadaan fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.[4]
Kata sufi atau sufiah diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, sufi berarti orang yang telah mensucikan hatinya dengan mengingat Allah (zikrullah), menempuh jalan kembali kepada Allah dan sampai pada pengetahuan hakiki (ma’rifat).
2. Sumber dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
            Dikalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi, unsur Yunani unsur Hindu/Budha dan unsure Persia. Kelima unsur ini secra ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Unsur Islam
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan bathiniah. Pada unsur kehidupan bersifat bathiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunnahs erta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Allah dapat slaing mencintai (mahabbah) (QS Al-Maidah [55]:54), perintah agar manusia senantiasa bertaubat, berserah diri dan memohon ampun (QS Al-Tahrim [66]:8), petunjuk bahwa manusia senantiasa bertemu dengan Allah dimana pun mereka berada (QS Al-Baqarah[2]:110). Selanjutnya Al-Qur’an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak dunia dan harta benda (QS Al-Hadid dan al-Faathir: 5), dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT (QS Ali Imran [3]).[5]
b. Unsur Luar Islam
Dalam berbagaai literatur yang ditulis pada orientalis Barat sering dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh unsur agama Masehi, Yunani, Hindu/Budha dan Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam.
Unsur-unsur luar islam yang diduga memengaruhi tasawuf Islam itu merupakan sebagai berikut:[6]
1. Pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara. Dalam literatur Arab yang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabiah. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi khalifah yang berlalu. Kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan. Dikatakan bahwa zahid dan sufi dalam Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri merupakan atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen.
2. Falsafah Mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang yang asing. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memeperoleh hidup senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup materi atau menempuh hidup zuhud, untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, inilah dipandang sebahagian orang telat turut mempengaruhi timbulnya zuhud dan tasawuf dalam Islam.
3. Falsafah Emanasi Plotinus mengatakan bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan Yang Maha Kuasa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, sehingga untuk dapat kembali ketempat asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Cara mensucikan roh adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, atau bersatu dengan Tuhan. Dikatakan bahwa falsafah Plotinus ini turut memberikan pengaruh terhadap berkembangnya pola hidup sufisme (tasawuf) dalam Islam.
4. Ajaran Budha dengan paham Nirwana-nya. Seperti diajarkan dalam agama Budha bahwa seseorang yang ingin mencapai nirwana, maka orang tersebut harus meninggalkan dunia.
5. Ajaran-ajaran Hindu yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan, untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman. Dalam ajaran Hindu Budha, diyakini bahwa alam ini hanyalah “maya” (bayangan) dari zat yang Maha Kuasa tidak punya wujud, karena itu jangan sampai tertipu dengan kehidupan dunia.


Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase, yaitu:[7]
Pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yang tumbuh pada abad ke-1 dan ke-2 Hijriyah. Pada fase ini terdapat individu-individu dari kalagan Muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Yaitu mereka  tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat. Tokoh yang terkenal dari kalangan mereka Hasan al-Basri dan Rabi’ah al-Adawiyah.
Pada abad ke-3 Hijriyah, ahli tasawuf mencoba menyelidiki ajaran tasawuf yang berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya menjadi  tiga bagian yaitu:
1. Tasawuf berisikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf berisi metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada Khaliqnya sehingga ketegangan jiwa akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik.
2. Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berbuat baik.
3. Tasawuf yang berisikan metafisika, yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan ilahi yang merupakan satu-satunya yang ada dalam  pengertian yang mutlak.
            Pada abad ke-4 Hijriyah, ilmu tasawuf maju lebih pesat jika dibanding dengan abad ketiga. Para ulama mengemukakan ajaran tasawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad sebagai kota satu-satunya yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar. Ulama yang mengembangkan tasawufnya tersebut antara lain:
1.      Musa al-Ansary, mengajarka tasawuf di Khurasan (Iran). Wafat tahun 320 H.
2.      Abu Hamid bin Muhammad al-Rubazy, mengajar disalah satu kota di Mesir. Wafat tahun 322 H.
3.      Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab al-Saqafy, mengajar di Naisabur. Wafat tahun 328 H.
Pada abad ke-5 Hijriyah muncullah Imam Gazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tasawuf dikajinya dengan mendalam. Pada abd ke-6 Hijriyah muncul kelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat. Mereka itu antara lain al-Suhrawardi al-Maqtul, Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi dan Umar Ibnu al-Farid.
Pada abad ke-7 Hijriyah tercatat dalam sejarah, bahwa menurunkan gairah masyarakat Islam untuk mempelajari tasawuf. Hal ini disebabkan:
1.      Semakin gencarnya serangan ulama syariat memerangi tasawuf
2.      Adanya tekad penguasa (pemerintah) pada masa itu untuk melenyapkan ajaran tasawuf di dunia Isllam, karena kegiatan ini dianggap sebagai sumber perpecahan umat islam.
Tasawuf pada masa-masa akhir (kurang lebih dari abad ke-8 Hijriyah sampai saat ini) mengalami kemunduran. Dengan  habisnya abad ke-7 dan masuknya abad ke-8, tidak didengar lagi perkembangan atau pikiran yang baru tentang tasawuf. Meskipun banyak pengarang sufi yang menyatakan pikiran seperti al-Kasani tetapi beliau tidak lagi mengeluarkana pendapat baru.
3. Variasi Praktik Tasawuf dan Pengkajiannya
Para sufi punya cara yang berbeda dalam mengimplementasikan hidup dan ajaran tasawufnya. Pengalaman-pengalaman dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadikan praktik tasawuf itu lebih bervariasi. Karena tujuh dari sufi itu merupakan berada sedekat mungkin dengan allah sehingga tercapai persatuan, maka cara mencapai tujuan itu panjang dan berisi maqamat. Maqamat yang biasa disebutkan antara lain tobat, zuhud, sabar, tawakkal, dan rida. Diatas itu ada lagi al-mahhab (cinta), al-ma’rifah (pengetahuan), al-fana dan al-baqa (kehancuran dan kelanjutan dan itihad (persatuan).[8]
Rabi’ah al-adawiyah merupakan seorang yang banyak mengeluarkan cinta pada allah. Ia mengatakan “aku mengabdi kepada allah bukan karena takut masuk neraka atau bukan pula ingin masuk surga, tetapi karena cintaku kepadanya-nya”. Cinta kepada allah begitu memenuhi jiwanya sehingga didalamnya tidak ada lagi ruangan untuk cinta kepada yang lain.
Rabi’ah al-adawiyah mengklasifikasikan cinta ilahi kepada dua jenis. Pertama, rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan allah. Kedua, cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong zat yang dicintai yaitu tersingkapnya tirai sehingga allah nyata baginya.
Paham al-ma’rifah dipelopori oleh Zu Al-nun al-misri, menurut beliau ma’rifah itu berbeda bagi setiap orang. Ma’rifah tentang ke-Esa-an allah yang dimiliki orang awam didasarkan kepada taklid, ma’rifah utama bersumber kepada dalil. Sedangkan ma’rifah bagi ahli sufi atau wali-wali allah bersumber kepada kasyf dan musyahadah. Menurut Zu al-nun al-misri, ma’rifah yang benar kepada allah membawa sinar-nya dalam hati sehingga terang dan jelas, membuat orangh selalu mendekat kepada allah sehingga menjadi fana dalam keesaannya. Dalam keadaan yang demikian, maka orang berbicara dalam ilmu yang diberikannya, melihat dengan penglihatannya, berbuat dengan perbuatannya. Jadi ma’rifah itu ialah sesuatu yang halus dan terbit dari hati terdalam, diberikan oleh allah sehingga terbuka hijab dan jelaslah penyelesaiannya.[9] 
4. Pendekatan Utama Dalam Kajian tasawuf
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam kajian tasawuf, yaitu:
a.       Pendekatan tematik.
Pendekatan tematik maksudnya, pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Diantaranya uraian tentang fungsi tasawuf, tingkatan-tingkatan kerohanian dalam tasawuf dan perkembangan tasawuf. Didalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan dengan allah dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
Pendekatan ini dilakukan oleh Sayyed Husein Nasr ketika melakukan penelitian dibidang tasawuf.[10]
b.      Pendekatan studi tokoh.
Pendekatan studi tokoh dilihat dari segi paham wahdat al-wujud, paham tersebut dinilai membawa paham reinkarnasi atau paham serba Allah, yakni allah menjelma dalam berbagai ciptaannya, sehingga dapat mengganggu keberadaan zat Allah. Wahdal al-wujud yang berarti kesatuan wujud merupakan lanjutan dari paham hulul.
Paham ahdal al-wujud ini timbul dari paham bahwa allah ingin melihat dirinya, maka dijadiknnyalah alam. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Dikala ia melihat dirinya, ia lihat kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena pada tiap benda-benda itu terdapat sifat Allah.
c.       Pendekatan kombinasi.
Pendekatan kombinasi ialah, pendekatan gabungan antara pendekatan tematik dengan pendekatan studi tokoh. Dengan pendekatan ini dikemukannya firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf. Amalan tasawuf, tarikat sufi serta runtuhnya aliran tasawuf.

Perkembangan Mutakhir Studi Tasawuf
Terdapat banyak tudingan terhadap tasawuf sebagai penyebab kemunduran Islam pada abad-abad klasik. Tudingan tersebut beralasan karena tasawuf dianggap menjadikan pemikiran umat Islam menjadi statis. Rasa bosan dan tidak simpati juga mulai diperlihatkan oleh masyarakat sekarang ini kepada tasawuf dan kaum sufi. Era yang membutuhkan dinamika dan kekuatan politik dan ekonomo gagal dijawab oleh ajaran sufisme seperti yang diperlihatkan oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia tasawuf. Namun meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tasawuf merupakan salah satu aspek yangs angat unik dalam Islam, tasawuf dengan metode dan ajaran yang benar bisa menjawab tantangan-tantangan hidup yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu lainnya. Dengan demikian, meski ada tuduhan dan rasa tidak simpati terhadap tasawuf, tetap saja ada keinginan kuat untuk ttetap menghidupkan dan melestarikan tasawuf dalam Islam.
Akibat logis dari dua fakta yang bertentangan tersebut, muncullah Neo-Sufisme yang menginginkan ajaran dan kaum sufi lebih dinamis dan tidak terpisah dari masyarakat sosial. Meski belum begitu popular di kalangan sufi, tampaknya ajaran ini bisa menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sufisme.
Neo-sufisme merupakan keinginan untuk menggabungkan ajaran-ajaran sufisme klasik dengan kebutuhan-kebutuhan sosial. Dengan neo-sufisme, seorang sufi tidak lagi terpisah dari lingkungan sosial dan tidak meninggalkan tanggung jawabnya meskipun ajaran sufisme klasik tidak mengajarkan demikian.[11]








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tasawuf sebagai salah satu bidang studi Islam, sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, karena tasawuf mengarahkan manusia kepada penyucian diri dari pengaruh dunia, menghiasi diri dengan akhlak yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang pada gilirannya dampai kepada pengetahuan ma’rifah. Tasawuf bersumber dari ajaran islam itu sendiri sekalipun ajaran serupa ada dianut oleh agama-agama sebelumnya (Kristen, Yunani, Hindu, Budha). Tetapi dalam perkembangan berikutnya tidak dapat dipungkiri bahwa tasawuf Islam telah mendapat pengaruh dari unsur-unsur ajaran agama lain.
Pendekatan kajian utama tasawuf terdiri dari pendekatan tematik yaitu, pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu, kemudian pendekatan studi tokoh yaitu paham wahdat al-wujud, paham tersebut dinilai membawa paham reinkarnasi atau paham serba Allah, yakni Allah menjelma dalam berbagai ciptaannya, sehingga dapat mengganggu keberadaan zat Allah, dan yang terakhir pendekatan kombinasi ialah, pendekatan gabungan antara pendekatan tematik dengan pendekatan studi tokoh.
















DAFTAR PUSTAKA

Miswar, Pangulu Nasution, 2013. “ Akhlak Tasawuf, Bandung: Citapustaka Media
Perintis.
Faisar Ananda Arfa, dkk, 2015. “Metode Studi Islam”, Jakarta: Rajawali Pers.
Agus Salim, 2011. “Metode Studi Islam”, Medan: 2011, h. 152.



[1]               Miswar, Pangulu Nasution, 2013. “ Akhlak Tasawuf, Bandung: Citapustaka Media Perintis, h.96.
[2] Ibid, h.97.
[3]               Agus Salim, 2011. “Metode Studi Islam”, Medan: 2011, h. 152.
[4] Ibid, h. 153.
[5]               Faisar Ananda Arfa, dkk, 2015. “Metode Studi Islam”, Jakarta: Rajawali Pers, h. 120.
[6]               Miswar, Pangulu Nasution, 2013. “ Akhlak Tasawuf, Bandung: Citapustaka Media Perintis, h.101.
[7]               Faisar Ananda Arfa, dkk, 2015. “Metode Studi Islam”, Jakarta: Rajawali Pers, h. 122.
[8] Ibid, h.125.
[9]  Ibid,h.125
[10] Ibid h.127
[11] Ibid, h. 129.

Pola Prilaku Kebutuhan Informasi

Pola Prilaku kebutuhan Informasi Mahasiswi penghuni asrama Universitas Medan Area Lantai 5 Wilantika Ramadhani Penghuni Asrama Put...